Bring Brung



Baru kali ini saya melihat kesenian Bring Brung. Namanya terdengar asing, seperti ungkapan kosa kata dalam bahasa asing [Inggris]. Coba saja Anda telusuri di Internet nama kesenian ini, dengan kata kunci “Bring Brung”. Apa hasil pencarian yang Anda dapatkan?

Saya sangat bersyukur bisa mendapatkan kesempatan menyaksikan pagelaran kesenian ini. Saya menyaksikan pagelaran ini ketika menghadiri peresmian gedung baru Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Bandung [ITB] kemarin [Senin,28/01/2013].

Bring Brung adalah seni tradisi buhun yang punya daya hidup yang memakai peralatan musik tabuh seperti rebana atau genjringan dengan ukuran alat tabuh yang besar. Para penabuh melafadzkan atau ngahaleuangkeun syalawat nabi, doa kecintaan kepada Nabi Muhammad, Rasulullah SAW. Selain menabuh dan menyanyikan, para penabuh juga menarikan, ngengklak merespon irama musik, menari sampai transendental.

Biasanya pertunjukkan Bring Brung ditanggap semalam suntuk di acara selamatan pernikahan, acara khitanan, kelahiran anak, merayakan panen atas hasil bumi yang berlimpah atau acara-acara selamatan untuk bumi, menjaga keseimbangan alam, doa untuk jagat raya supaya mendapatkan berkah dari Sang Pencipta.

Eksistensi seni tradisi Bring Brung, seperti juga banyak seni tradisi dan keindahan alam priangan, mulai tersisih, akibat dari pembiaran kita sebagai warga yang senantiasa lupa di tengah-tengah derasnya hegemoni politik kebudayaan global yang tidak terasa telah melenakan kita terhadap seni budaya milik kita sendiri yang kaya akan nilai-nilai dan spirit ritual akan cinta pada alam dan kemanusiaan. 

Harus kita akui bersama, dengan derasnya arus informasi yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi, pengetahuan tentang kearifan lokal seperti ini sering kita lupakan. Sampai-sampai, saya sendiri baru sekarang mengenal dan menyaksikan kesenian ini. Bagaimana dengan Anda? Bagaimana dengan anak-cucu kita?

Entahlah, mungkin saya lupa [atau tidak peduli], apakah dulu informasi mengenai kesenian ini pernah disampaikan di sekolah? Bila, tiga puluh tahunan yang lalu saya tidak pernah mendapatkan informasi ini, baik melalui keluarga, masyarakat, ataupun sekolah yang merupakan “perantara” yang berperan dalam transfer ilmu pengetahuan, maka saya sangat pesimis bahwa anak-cucu kita pun hari ini sebagian besar tidak pernah “diperkenalkan” dengan salah satu kesenian buhun ini, kesenian warisan leluhur kita, kesenian yang memiliki nilai-nilai [filosofi] tinggi, seperti kesenian Bring Brung.

Pentas kesenian Bring Brung yang digelar dalam rangka peresmian gedung Perpustakaan Pusat ITB kemarin telah menyadarkan saya betapa banyaknya kekayaan [khasanah] bangsa ini yang masih belum digali, menunggu saatnya untuk “terkuak” kembali, layaknya tumpukan harta karun yang memanggil-manggil para pemburunya, tertimbun rapat oleh derasnya terpaan arus informasi yang semakin hari semakin menumpuk di era informasi ini.

Saya menilai, sangat tepat Perpustakaan Pusat ITB menampilkan pagelaran seni karuhun Bring Brung ini pada perhelatan “Ngaruwat Jagat Pustaka Ganesha ITB” kemarin. Perpustakaan telah benar-benar melakukan kegiatan pokok dalam mengumpulkan, mengolah, dan men-diseminasi-kan informasi dalam menjalankan fungsi utama perpustakaan sebagai pusat sumber belajar sepanjang hayat. Bersambung ya...

Popular Posts