Connecting
libraries with classroom
Selamat
malam dan salam sejahtera,
Semoga
tulisan ini menemani teman-teman semua yang sudah terlelap tidur dan menyapa esok
hari dengan sebuah pencerahan.
While Nokia has connecting people, we have
connecting libraries with classroom. Ya. Itulah tagline kami. Tagline ini
saya ambil dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Kay Bishop (2011)
edisi kedua. Bu Bishop, thanks ya for
your inspiring book J.
Virtual multimedia library merupakan solusi alternatif yang terbarukan. Mengapa saya katakan demikian? Solusi alternatif, karena ini memang merupakan solusi ketika dimana paradigma sebuah perpustakaan telah berubah—atau boleh dibilang bergeser, dari yang—selama ini bayangan kita—dibatasi oleh tembok-tembok, dinding-dinding ruangan, menjadi sebuah perpustakaan yang tidak tidak ada batasnya (virtual), yang didalamnya berisi semua sumber informasi dari berbagai media (multimedia), yang kita sendiri takjub dengan membayangkan banyaknya (enormous) informasi/pengetahuan yang dihimpun. Gampangnya, kita bayangkan Google aja kali ya. Tapi, apakah “Si Mbah” Google itu sebuah bentuk virtual multimedia library? Sebagian mengatakan begitu, sebagian lagi tidak. Masih debatable. Yang jelas, kata Neil Gaiman: “Google can bring you back 100.000 answers, a Librarian can bring you back the right one”.
Trus, kenapa virtual multimedia library ini merupakan solusi yang terbarukan? Ya, iyalah. Jelas banget. Secara gitu loh sekarang udah jamannya “main” teknologi canggih. Kita sekarang udah “bermain” dan “ngobrol” di tataran jaringan (network). Sehingga, sangat memungkinkan bila virtual multimedia library ini connecting libraries with classroom. Bahkan, bahasan library 3.0 sudah mulai ramai. Tapi, itu nanti dulu deh :-).
Pemerintah sekarang sedang giat-giatnya melaksanakan amanat Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 (lihat Bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 35 dan Bab XI pasal 39 tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan—salah satunya adalah pustakawan) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 yang menyatakan bahwa sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki ruangan perpustakaan. Dikutip dari Republika Online edisi 4 Juli 2010, Direktur Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, Mudjito, menyatakan saat ini baru 30 persen SD yang memiliki perpustakaan sendiri. Berarti masih 70 persen lagi nih belum punya perpustakaan, itu baru di Sekolah Dasar. Nanti kita ngobrol lagi panjang lebar ya. Sekarang, coba deh kita itung-itungan:
Ø Berapa ya anggaran untuk membangun infrastruktur fisik sebuah bangunan/ruangan untuk perpustakaan? Bagaimana kalo anggaran pembangunan fisik itu kita alihkan untuk membuat virtual multimedia library?
Ø Berapa ya anggaran untuk membeli koleksi untuk mengisi perpustakaan agar tidak kosong melompong—maksudnya ada keliatan jajaran buku-bukunya. Bagaimana kalo anggaran pembelian koleksi fisik ini kita alihkan untuk membuat virtual multimedia library? Koleksi perpustakaannya bisa sampe diakses di ruang kelas dan ruangan lainnya pula. :-)
Oh….my dream library :-)
Bandung, 25 April 2012
Penulis
Konsultan Perpustakaan