TBM@mall

TBM@mall

Oleh. Agus M. Irkham

KEMENTRIAN Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan merintis taman bacaan masyarakat (TBM) di pusat perbelanjaan atau mal. Frase ''TBM@mall'' dipilih menjadi nama pemerekan (branding) pusat pembelajaran yang ditujukan untuk para pengunjung mal itu.

Di kota-kota besar, mal memang telah menjadi tempat yang paling sering dikunjungi masyarakat. Mal tidak hanya didatangi untuk berbelanja dan mengukur batas-batas kelas sosial, tapi juga aktivitas lain. Mulai tempat merayakan ulang tahun, pesta pernikahan, tempat ibu-ibu arisan, tempat janji ketemuan dengan kolega, rapat, diskusi, hingga tempat untuk sekadar nongkrong. Singkatnya, mal telah menjadi pusat kebudayaan. Mal menjadi salah satu penanda (ikon) utama budaya pop yang ''bermagnet' ' kuat, melingkupi seluruh rentangan umur biologis, perbedaan gender, dan nirkelas ekonomi.

Berdasar beberan perangkaan Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dir Dikmas Ditjen PNFI) Kemendiknas Ella Yulaelawati, 50 persen pengunjung mal adalah remaja, 25 persen berumur di bawah remaja, dan sisanya di atas remaja.

Ella menyebutkan, TBM@mall akan dilengkapi dengan pojok anak (kid corner) sebagai balai belajar bersama. Tidak hanya itu, TBM@mall juga bisa dijadikan sarana unjuk karya. Misalnya, galeri anak-anak yang memajang hasil karya mereka. Pada tahap awal, Kemendiknas akan merintis TBM@mall di enam titik pusat perbelanjaan. Yaitu di Jakarta, Serang, Makassar, Bandung, Surabaya, dan Semarang.

Saya kira, prakarsa Kemendiknas itu sejalan dengan gagasan yang sebelumnya telah mekar di teman-teman komunitas literasi. Terutama, yang terhimpun dalam Gerakan Indonesia Membaca. Sebuah gerakan keberaksaraan yang difasilitasi dan dipromosikan oleh Forum Indonesia Membaca (FIM).

Kalau tidak salah, sejak 2002, FIM telah menyosialisasikan program pojok buku (book corner) di tempat layanan publik. Tidak hanya di pusat perbelanjaan, program itu juga diadakan di bengkel, ruang tunggu rumah sakit, apotek, bandara, lobi hotel, dan stasiun. Hanya, karena lain hal, ide book corner itu tak kunjung membiak.

Kini ide tersebut muncul kembali dan yang mengambil prakarsa adalah pemilik kuasa birokrasi dan anggaran, yaitu pemerintah. Tentu harapan kita, ide itu betul-betul terlaksana dan berkelanjutan. Maka, tak berlebihan jika ide tersebut perlu didukung para pegiat budaya baca.

Mengapa? Saya mencatat, ada dua alasan mengapa TBM@mall ini penting dilihat dari perspektif masa depan gerakan membaca di Indonesia. Pertama, di satu segi ada linearitas antara mal sebagai pusat kebudayaan dan tujuan menjadikan aktivitas membaca buku -produk budaya- sebagai bagian tidak terpisahkan dari pemanfaatan jelujur waktu hidup keseharian seseorang. Publik luas lebih mengenalnya dengan istilah budaya baca.

Di segi lain, pemasaran budaya baca dituntut untuk terus mencari pola dan strategi baru. Terutama menyangkut pengemasan (context) aktivitas promosi dan helatan keaksaraan. Dengan hadirnya TBM di pusat perbelanjaan, secara tidak langsung kesan yang diharapkan muncul dari para pengunjung adalah "Oh ternyata buku itu (aktivitas membaca) sama gaulnya dengan mal".

Sama-sama dapat dijadikan sebagai bagian dari gaya hidup (life style). Pada titik ini, dengan kata lain TBM@mall adalah bentuk penindihan (baca: memanfaatkan) ikon budaya pop untuk memasarkan aktivitas membaca. Jadi, keduanya tidak harus ditempatkan dalam situasi saling menegasi. Sebaliknya bisa bersinergi.

Dalih kedua, TBM@mall penting lantaran berkaitan dengan upaya mengefektifkan gerakan keaksaraan fungsional. Secara sederhana, keaksaraan fungsional dapat diartikan sebagai kelincahan seseorang untuk mendaras bahan bacaan yang bertalian erat dengan profesi yang ditekuni. Jika bukan profesi, paling kurang pekerjaan teknis yang akan, sedang, dan telah dijalani.

Sejauh ini, pengunjung mal memang nirkelas ekonomi. Tapi, tak bisa dimungkiri bahwa persentase terbesar adalah mereka yang masuk dalam kelompok ekonomi mapan. Dalam beberapa riset literasi, kelompok mapan ini -biasanya identik dengan tingkat pendidikannya yang tinggi- golongan masyarakat yang paling berkewajiban dan paling berpotensi menjadi pendaras buku. Meskipun, gagrak buku yang dibaca biasanya sangat spesifik, yaitu buku-buku yang memiliki faedah praktis dan instan (keaksaraan fungsional). Bukan buku-buku ''berat'' yang berisi wacana pemikiran.

Pada segi itu, TBM@mall adalah bentuk fasilitasi untuk mendorong tumbuhnya kesadaran keaksaraan fungsional pada masyarakat kelas mapan. Apa perlunya sudah mapan, tapi kok tetap harus difasilitasi dan didorong-dorong? Mungkin, pertanyaan gugatan itu yang bakal muncul.

Fasilitasi dan dorongan tersebut bertujuan agar kebiasaan membaca buku pada kelas menengah (secara ekonomi) yang semula hanya potensial menjadi aktual. Sekurang-kurangnya, taman bacaan di mal akan memberikan wacana sanding, untuk tidak menyebut tanding atas beragam gerai yang identik dengan konsumerisme.

Capaian terjauh TBM@mall adalah naiknya kualitas keaksaraan kelas menengah, yang semula hanya memiliki kecakapan keaksaraan fungsional meningkat menjadi keaksaraan budaya. Sebab, seperti yang sudah-sudah, aktor perubahan sosial -yang mengarah pada perbaikan dan memerdesa- yang utama adalah mereka, kelas menengah (dari segi pendidikan dan ekonomi) yang memiliki tingkat keaksaraan budaya tinggi. (*)

Agus M. Irkham, instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca, Kabid Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat.
Tulisan ini pernah tersurat di Jawa Pos, Minggu 11 April 2010.

readbud - get paid to read and rate articles

Popular Posts