MOMEN KEBANGKITAN PERPUSTAKAAN PESANTREN
Oleh Nurul H. Maarif* AKHIR MARET 2010 lalu, tepat ketika Ujian Nasional (UN) SMA tengah diselenggarakan, Kepala Bidang Pekapontren Kantor Wilayah Kementerian Agama Prop. Banten, H. Iding Mujtahidin, M.Pd, berkunjung ke Pondok Pesantren Qothrotul Falah, di Cikulur Lebak Banten. Kunjungan yang terkesan mendadak – dan barangkali disengaja demikian guna mengukur kesiapan dan kesigapan pesantren bersangkutan – itu tiada lain diniatkan untuk memantau perkembangan perpustakaan pesantren di wilayah Banten. Inilah, diantara konsen dan tugasnya sebagai "abdi dalem pesantren" melalui bidang Pekapontren. Respon Pesantren Ada beberapa hal penting sebagai wujud respon pesantren atas "berkah" ini. Pertama, harus muncul kesadaran kolektif bahwa perpustakaan adalah ruh peradaban dan inilah warisan Islam. Kami sering mengistilahkan; pesantren tanpa perpustakaan, ibarat tubuh tanpa ruh. Abai terhadap perpustakaan berarti abai pada sumber peradaban. Jika ini yang terjadi, fantadhir (tunggulah) saat runtuhnya bangunan mercusuar peradaban Islam. Cukuplah kejahatan Hulaghu Khan, yang menenggelamkan seluruh buku-buku kekayaan Islam di Baghdad, sebagai pelajaran berharga yang tiada terlupa. Kesadaran kolektif inilah yang harus muncul dari semua stake holder pesantren. Kedua, kepada santri, harus ditanamkan pentingnya bergumul tiada henti dengan teks. Inilah pelita harapan. Jangan salah, kejahatan intelektual tidak harus berujud menenggelamkan karya-karya pengetahuan ke dalam lautan atau membakarnya. "Ada kejahatan yang lebih keji ketimbang membakar buku, yaitu tidak mau membaca buku," kata Joseph Brodsky, seorang pemenang nobel sastra. Tiada menghiraukan atau acuh pada buku, baginya, adalah kejahatan intelektual kelas tinggi. Ketiga, pihak pesantren harus menampilkan bacaan perpustakaan yang bervariasi. Dari yang berat, hingga yang ringan. Dari yang serius, hingga yang santai. Dari sisi sasaran, carilah buku-buku yang menyentuh tiga aspek kecerdasan; intelektual, emosional, dan spiritual. Inilah tiga kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian, santri mendapatkan banyak pilihan bacaan, sesuai kebutuhan dan kegemarannya. Sebab, nalurinya, mereka suka pilah-pilih dan mudah bosan. Yang tak kalah penting, keaktifan atau bahkan – dalam istilah Gola Gong dalam Bara Menjadi Daya – "keabnormalan" pengelola pesantren mencari buku-buku bacaan harus dibuktikan; baik melalui pembelian maupun donasi. Keempat, buatlah program perpustakaan yang hidup dan menarik minat santri. Sukur-sukur bisa membuat mereka at home dan betah "menginap" di sana. Ciptakanlah ketagihan dalam hatinya. Misalnya, pengelola bisa membuat acara nonton bersama melalui media layar besar, diskusi berkala, bedah buku, pelatihan jurnalistik, permainan/game, penerbitan buletin, pembuatan website untuk menampilkan seluruh kegiatan perpustakaan dan koleksi buku, dan sesekali undanglah pencerita. Kegiatan-kegiatan ini bisa dilakukan dengan memberdayakan pengelola perpustakaan, para ustadz/dzah atau santri senior, sekaligus sebagai media pembelajaran mereka. Sebisanya juga, manfaatkanlah sarana-sarana modern yang ada, dan tatalah ruangan senyaman dan seindah mungkin. Kelima, jika diperlukan, namailah perpustakaan itu dengan nama yang mudah dikenang dan diingat. Tujuannya untuk menyatukan batin pengunjung dengan perpustakaan, sehingga perpustakaan terus-menerus terkenang dalam hatinya. Ini barangkali hal sepele, namun tak bisa disepelekan. Terakhir, harus diakui, mengelelola perpustakaan bukanlah pekerjaan mudah. Tidak sembarang orang mampu mengemban amanat ini. Karenanya, menurut Gola Gong – pendiri Rumah Dunia – , untuk mengelola perpustakaan dibutuhkan orang-orang "abnormal", yang sedia mengorbankan pikiran, waktu, tenaga dan bahkan harta. Jika ini terlaksana, momen kebangkitan perpustakaan pesantren ini bisa diraih dan upaya membuat pilot project perpustakaan yang hidup bisa segera terpenuhi. Wa Allah a'lam.[] *Pengelola Pondok Baca Qi Falah Pondok Pesantren QOTHROTUL FALAH Cikulur Lebak
|