Kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak
- Apakah anda mulai merasa kesulitan mengendalikan perilaku anak anda?
- Apakah anda dan pasangan sering nggak sepaham dalam mendidik anak anak?
- Apakah anak anda sering merengek dan maksa untuk dituruti kemauannya?
- Apakah anak anda sering berantem satu sama lain?
- Apakah anda kesulitan karena anak anda selalu nonton tv atau maen ps?
Jika anda menjawab ya dari salah satu pertanyaan diatas, maka ada
baiknya baca tips tips dibawah ini. Berikut ini adalah tips tips dari
buku Ayah Edy ini.
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa
sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya,
yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah
dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil
mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul
kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak
terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia
tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa
hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan
terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain,
dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi
peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan
suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak
sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak
kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah
merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru
berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya
kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang
terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya
terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali
hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur
lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata
orang tuanya, Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang
tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak menuruti
perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita sudah
tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak
untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita
terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau
mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah
itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama
hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.”
Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan
ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti
Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara
jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering
kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak
percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan
pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut,
anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu
bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan
keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian
kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia
belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi
hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara
terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya
selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang
tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan
mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti MAma/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan
dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk
atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah
termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa
marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola
orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya
mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola
orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman
dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin
kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak,
hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan
lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan
yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata,
“Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada
adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak perlu dengan
ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu
pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu
tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan
ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama
keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati
pernyataan kita dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama
tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu
berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan
dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita inginkan. Anak tidak
pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam
hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru. Dari
sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan
salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk
dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya
untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia
alami (tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan
pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita
sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan
atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan
melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan ,
ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala
usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua
yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar.
Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita
mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang
tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita
seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang
akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka
untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun,
setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan
mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.”
Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation
lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy…
mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!”
Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur
yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman
diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita
telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka
maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang
bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan
kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati
anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia
berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama
ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila
jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita
sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti
setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di
lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak,
tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau
kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan
konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja,
tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik
anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan
tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya
menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang
bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV
terus agar anak tidak stress. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai
ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi
perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan
bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang
tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai
berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan
mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka
pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik
anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan
,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah
mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu
sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan
sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada
pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang
dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar
keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke
anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga
inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan
cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung
melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita
untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada
saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si
anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa
diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak
menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam
anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh
beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek
atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut
atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti
kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2
juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan
penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi
Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang
memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten
merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki
ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati
orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk
memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan
untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera
mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah terlebih dahulu
sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut.
Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan
alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa
lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita
nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari
anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada
saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan
rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus
mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat
kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh
karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita
mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu
saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si
Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain
bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu
atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang
beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah
yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak,
Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah
KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi
hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak
menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak.
Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa
bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para
orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering
dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin akrena saya juga yang
jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita
menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk
yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian
besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak
bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal
yang terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan
waktu kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik,
tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi
miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah
memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita
hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa
berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah.
Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan
ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh
sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah
dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila
seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi
kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak
justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh
lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua
sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya
[penulis] sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan
Flegmatis, “Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak
sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah
nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas
dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang
menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi
penasihat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu
untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang
paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik
mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak
bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa
upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang
lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang
nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi
menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara
“tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang
datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara
tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara
keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita
emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah
ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya
dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya
kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan
selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak
menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih
baik kok.
15. Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada
anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal
yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita.
Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa
yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya
memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti
keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa
kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya
melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak,
orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel”
atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang
“maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul
teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan
mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak
sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak,
otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat
buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita
harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya.
Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2
tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak
kerja sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu
mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak
perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah
usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku
buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan
seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh
nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin
malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain,
jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang
sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan
anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal,
tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan
istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam
macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari
istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau
ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh
berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak
mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini
dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie
instant, susu instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah,
kita sering ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa
terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita
ingin agar anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku
singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit
memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan
frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih
untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh,
atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah
waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa
dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya.
Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling
mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk
diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi
anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika
perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana
apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya
perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan
perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak
anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang
tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya
permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya
pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan
apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal
menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan
masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan
omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya.
Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan
bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini
jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan
pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan
yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang
ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau
mungkin anak yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini
seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia
menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat,
jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak
yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak
kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan
pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan
menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus
mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah,
yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat
membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam
bahasa awam sering disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang
tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2
karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang
“Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak
kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung
membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita; anak kita harus begini
tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan
melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita
tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe
keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras).
Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin
kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif.
Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami
sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara
anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta
pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan
batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus
sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu
Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai
kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong
pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera
menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak
kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya
benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag
terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong
pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau
“Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir
kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau
memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau
berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar
melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan
nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat
kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu
dini. Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi
ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan
positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya
setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka
pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk
mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan
akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak
kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah
dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak
pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau
orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar
dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati
dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit
hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah
diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu
rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan
kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah
dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau
“Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”.
Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar
nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan
orang lain. Bila kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan
orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak
nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya
tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik
secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba
ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita,
bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering
melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas
dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang
cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai
tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering
terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu,
maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat
yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak
yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak
pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka
jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah
perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan,
bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai
nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak
papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun.
Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan
memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa
dan masih banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang
tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu
tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan,
jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses
komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita
adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang
ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu
saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga
banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun
untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak
mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang
lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat,
paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah
dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka
proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil.
Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan
dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu
sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik
anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu
sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di
keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti
orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku
buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan
salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan
semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku
orang tua secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang
tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai
alasan tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam
sehari, jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah
selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus
selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah
menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana
prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq.
Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq
menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan
benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada
kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama
adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang
dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki
rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita
mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian
adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq
yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti
kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan
lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas
perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai
benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan
salah selalu salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum
mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing
anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak
anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak,
dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan
fisik yang menyakiti anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi
anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan
membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan
teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang
suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak
yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak,
mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti
cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil
maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru
yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku
seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari
kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa
masih banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi
ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan
bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah
konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan
menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan
karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak
boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba
coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang
kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti
merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita
menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan
membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak
akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan
mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak
dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka
sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi
sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti
pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv,
ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau
merengak, menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita
yang apda kahirnya kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing
oleh emosi anak, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan
orang tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan
lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan
pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa
tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis
tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan
keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah
pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan
mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila
proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk
melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang
memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha
menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL
MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI
UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah
memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar
dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin
tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa
mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar
batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah
cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada
anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat
dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk
menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi
reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan
konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk
mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang
mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main
game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar
telah membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita
untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil
membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak
pada kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi.
Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka
menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang
tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih
baik jika seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak
kita tetap aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah
batas2 dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu.
Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta
kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu
meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita
tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya
dengan kata2 singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti,
“Tumben hari gini sudah pulang”, atau “Sering2 aja pulang malem!”
atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku
buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan
menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya
tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang
tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya.
Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo
kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan
rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan.
Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut
pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak
hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil
dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan
memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang
lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang
terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya,
anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha
membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh
lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat,
gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang
diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan
menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia
tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata
sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain,
semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya
dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat
kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan
terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa
membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih
dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak
kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang
kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski
urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa
menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita
menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih
menyenangkan?
oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
2, Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik
dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan
edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan
sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima
pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar
melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk
membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas dendam.
Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan
saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas
atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
a. mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
b. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
c. ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.